Monday 30 May 2016

A Place Called Home

Malam minggu aku habiskan dengan menonton film “Supernova : The Knight, The Princess and Shooting Star” sendiri di kamar, dimana saya ga akan menceritakan resensi film tersebut disini, tapi kamu bisa baca di blog ini. Ada satu hal yang aku ingat betul mengapa dari sekian petualanganku, aku tetap kembali ke "rumah". 

Sederhananya, Ferre mencintai dan dicintai Rana yang telah bersuamikan Arwin. Arwin bukan sosok yang tepat untuk diduakan, tapi nyatanya siapa yang bisa mengelak dari cinta. Hingga akhir waktu, Arwin mengetahui hubungan gelap mereka dan memilih untuk melepaskan Rana pada Ferre. Rana luluh dengan sikap tulus Arwin dan memilih untuk memutuskan hubungannya dengan Ferre.

Yang tidak aku ungkapkan, begitu pula dia...kami sama dengan pasangan-pasangan lain yang tidak sempurna. Bahwa sebelum kami menikah, ada satu pria yang berharap bisa menikah denganku jika aku tidak segera dilamar oleh kekasih kala itu.

Si pria dewasa, cukup tampan, mapan dan sholeh, yang seharusnya ga perlu berpikir dua kali untuk meninggalkan kekasih yang penuh tidak kepastian dan memilihnya.

Di suatu malam di sebuah tempat, dengan hati besarnya, kekasih  memutuskan hubungan kami agar aku bisa bersama pria itu. Dia tidak menunjukkan emosi, dia tidak menunjukkan amarah, dia tetap mengantarku pulang  sampai di depan rumah.

Si pria tentu kegirangan, dan mulai menyiapkan serangkaian acara kencan untuk lebih mendekatkan kami berdua, tetapi aku menolak. Aku memilih untuk diam dirumah, memikirkan segalanya, berdoa untuk siapa yang baik untukku. Dan tepat seminggu setelah itu,  aku memilih untuk kembali pada kekasih ketimbang memulai hubungan baru dengan si Pria.

Andaikata, pada malam itu kekasih marah besar dan mengata-ngatai aku dengan kalimat kasar, mungkin aku akan tidak berpikir ulang untuk kembali padanya. Sikap seperti itu sukses membuatku merasa bersalah beberapa kali lipat dan berniat memperbaiki semua dari awal. Dan dia dengan hati besarnya itu, menerimaku kembali dan akhirnya melamar.


Jika saya update status di sosial media berlokasi di “A Place Called Home”, it isn’t about the house --my parent-in-law’s house...but that’s HIM. 

He’s my home.

Tuesday 17 May 2016

yang ditunggu

Hal terbaik dari menangis dibawah guyuran hujan dan diatas motor yang sedang berjalan di jalanan adalah tak seorang pun akan menyadari dan memperhatikan. Air mata sibuk bercampur dengan percikan hujan atau cipratan dari kendaraan lain. Namun hal ini lebih baik ketimbang bersembunyi di ruangan tak terpakai dan jauh dari keramaian dengan resiko kepanasan. Tetap dengan konsentrasi penuh mengendarai motor, aku seolah melihat potongan-potongan kejadian dan jalan hidup yang kupilih di masa lalu.

Aku tidak pernah merasakan indahnya proses pelamaran seperti pasangan-pasangan romantis lainnya. Aku tidak merasakan bahwa aku memang satu-satunya wanita yang ingin dinikahinya. Kami memutuskan untuk menikah hanya karena sudah waktunya. Karena desakan keluarga. Karena tuntutan usia yang menginjak kepala 3. Tidak ada kejutan, tidak ada drama ataupun sandiwara. Meski demikian, aku bersyukur pada akhirnya dia bisa menikahiku.

Hari berganti hari hingga bulan berganti bulan, sesuatu yang ditunggu setiap pasangan setelah menikah tidak nampak hilalnya. Dan manusia di sekeliling seolah ga pernah lelah bertanya, memojokkan dan menyuruh. Mungkin mereka lupa bahwa anak adalah rejeki. Mungkin anak bisa “dibeli” dengan cara inseminasi atau bayi tabung, tapi kami tahu kemampuan kami. Bisa hidup dan makan keesokan hari saja kami bahagia.

Setelah genap setahun, aku mempertanyakan kembali bahagia seperti apa yang sebenarnya aku inginkan. Bahagia karena melihat teman-teman diluar bahagia dengan kehamilan pertamanya, atau keduanya?. Bahagia karena bisa makan dan menyebabkan berat badanku naik 10 kilo karena aku malas menjaga tubuh dan rambutku yang tertutup hijab?. Bahagia karena hubungan pernikahan kami yang seumur jagung namun mengalami pasang surut dan kehilangan romantisme pasangan?

Andai aku hamil, suamiku pasti menghujaniku dengan perhatian. Keluarga pasti berhenti mempertanyakan, teman-teman mengutamakan. Setidaknya, aku ingin merasakan itu.

Lalu, apakah yang aku inginkan sebenarnya adalah hamil dan punya anak, atau hamil untuk sekedar mendapatkan perhatian?.

Kemudian aku tahu. Dari segi apapun mungkin aku belum siap. Aku tidak benar-benar menginginkan seorang anak. Perhatian suami akan terbagi dengan anak. Perhatian keluarga ga lagi untukku. Emosi dan fisikku akan terkuras untuk membesarkan anak ini, sementara sekarang hanya berdua saja aku sudah merasa kelelahan. Tetapi aku egois jika aku tidak berusaha, karena suamiku menginginkan anak. Keluarganya dan keluargaku pun demikian.

Mungkin aku mengharap terlalu tinggi. Kata orang, mumpung belum punya anak pacaran dulu aja. Tapi aku lelah karena suamiku adalah orang yang paling tidak romantis. Memesankan kue tart setiap ulang tahun ku pun adalah permintaanku sendiri. Sebaliknya, aku selalu memberi yang tidak pernah dia minta. Sehingga sewaktu-waktu aku ingin dia membalas hal yang sama seperti yang aku lakukan padanya.

Hingga suatu ketika kekesalanku memuncak, aku tidak ingin pulang. Tidak ingin melihatnya untuk sementara waktu. Tidak ingin berhadapan dengannya. Tapi aku tetap pulang, lalu menata pakaian-pakaianku kedalam tas dan berencana tidak pulang esok harinya.



Aku kalah 

Friday 19 December 2014

Kita Pasti Bisa

Setiap tahun aku menyelipkan 1 resolusi yang sama. Menikah.
Setiap tiup lilin di hari ulangtahunku, kuhembuskan doa yang sama. Menikah.
Setiap tahun setelah usiaku menginjak tahun yang ke 25.
Bukan berarti menikah adalah satu-satunya tujuan hidupku, bukan satu-satunya pencapaian yang ingin aku raih.

Aku tak berhenti mencari, meski begitu dia setia membantuku menemukan jalan kembali padanya. Ini yang membuatku bertahan mencintainya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dan ya, hingga pada saat kami duduk berhadapan didampingi kedua orangtua kami pada tanggal 25 Mei 2014 lalu, aku bersyukur hari itu akhirnya datang. 

Kalau kamu membaca tulisanku sebelumnya, dan bertanya-tanya bagaimana akhirnya orangtua kekasihku bisa menerimaku... aku beritahu sesuatu.

Jodoh tidak akan menjadi "jodoh" kalau tidak diperjuangkan. Dan bagaimana caranya agar kamu bisa diperjuangkan?. Sejujurnya, aku bukan tipe perempuan yang layak diperjuangkan. Aku keras kepala, sok mandiri, kekanak-kanakan, mudah jatuh cinta, tidak setia...paling tidak itu yang mereka katakan tentang aku. But he stays. Dan dia menepati janjinya untuk berjuang membantuku meluluhkan hati kedua orangtuanya di tahun dimana aku sudah menyerah dan tak lagi menyelipkan doa "menikah" di tahun 2014 ini.

Suatu hari, dia berkata, "Sayang, aku ingin mengajakmu kerumahku. Tapi kalau bisa kamu pakai kerudung ya."
Aku kira pertemuan ini akan menjadi pertemuan yang biasa saja. Aku akan berhadapan kembali dengan Ibu dan Bapak, tapi aku salah. Ibu memanggil menantu, beberapa saudara dan keponakannya untuk dikenalkan padaku. Suasana ramai dan cair, tidak setegang aku pertama kali menginjakkan kakiku dirumahnya. Bapak pun mulai ramah menyapaku. 1 Hal yang aku ingat dia katakan, "Ya sudah, kalau memang kalian berjodoh, Bapak dan Ibu merestui saja."

Alhamdulillah. 

Dan kami masih menjalani ujian demi ujian menjelang hari lamaran hingga pernikahan. Kata orang, kalau persiapan pernikahan lancar berarti benar-benar berjodoh. Dengan segala keruwetan, aku kembali pesimis. Mungkinkah kami cuma memaksakan kehendak saja? Dan apakah memang dia terbaik untukku, aku terbaik untuknya?. 

Hey, aku berkata pada diriku sendiri. Bukankah ini yang aku inginkan. Menua bersamanya. Tolong jangan bandingkan dengan siapapun karena mereka tidak berjuang sekeras ini padaku. Berdoa saja, semua akan membaik.

Terima kasih atas semua doa baik yang tertuju untuk kami, dia mengucapkan janji pernikahan dalam bahasa Arab dengan sangat lancar, meski dengan telapak tangan basah dan muka tegang. 

Terima kasih pak Penghulu karena dengan guyonan yang Ia lontarkan, suasana Ijab kabul pun ga kaku sama sekali. He he he

Terima kasih keluarga. Terutama Mama, perjuangan mama luar biasa. Ga akan mampu aku untuk membalasnya. Adik perempuanku satu-satunya, buat semua nasehat dewasanya, dukungan dan kadonya...aku titipkan salah satu milikku yang berharga padamu, Luna.

Terima kasih kalian, yang pernah mampir ditengah-tengah hubungan kami. Kalian membuatku semakin yakin bahwa aku akan tetap memilih dia.

Terima kasih lelaki yang kini sudah menjadi mantan pacar. Hidup kita ga akan mudah, semoga kesabaranmu menjadi berlipat dalam mengimami aku. Kita pasti bisa, dear...

Terima kasih ya Allah, hadiah-Mu sangat indah. Aku menikahi dia, dan kini juga memperoleh kasih sayang dari orangtuanya.

(Terima kasih atas mitos "usapin jari berminyakmu yang abis makan gorengan di kaki, dijamin disayang mertua" dan aku melakukannya :D)

dan terakhir, YA sekarang aku mengenakan kerudung. Semoga istiqomah :)

Aamiin


Tuesday 22 July 2014

bidadari surga di bumi

Catat, aku bukan pelacur. Setidaknya aku melakukan ini semua karena aku butuh perhatian pria. Aku tak butuh uang mereka, aku tak butuh pengakuan. Bersama salah satu dari mereka di satu malam dan malam lainnya saja aku sudah senang. Tak jarang mereka membelikan apa yang aku ingin, tapi bukan itu tujuanku. Sungguh.

Aku kasih tahu ya, aku tak percaya dengan pernikahan. Melayani satu orang yang belum tentu setia membuatku sakit kepala. Memberikan cinta pada satu orang yang tidak membalas cinta sebesar yang kuberikan akan membuatku frustasi. Tidak, aku tidak mau komitmen itu.

Sesungguhnya, Aku tak pernah merasa kesepian. Mereka tak selalu ada untukku, tapi aku selalu berusaha ada untuk mereka. Aku menikmati masa-masa sendiriku. Menulis seperti ini. Menyesap cokelat hangat di sebuah cafe sambari melahap novel, atau sambil berdiam di balkon apartemen menikmati lampu kota. Menghirup aroma tanah saat  hujan dari lantai 11 bukan hal yang mustahil juga.

"Kamu yang pasang kondomnya ya sayang..."

Asli, aku membenci kondom. Mereka pikir aku berpenyakit?. Memakai kondom sama dengan bermain dengan dildo. Rasa karet. Belakangan aku menyadari, mereka cuma tak ingin aku hamil. Karena sudah terbiasa keluar di dalam.

Jangan kuatir, aku rajin mengingatkan mereka untuk tidak memakai parfum yang berlebihan saat menemuiku, dan mandi tanpa sabun setelah kami bercinta. Aku juga tidak mau meninggalkan jejak merah pada tubuh mereka. Selama tak ada yang terluka, aku yakin mereka akan tetap mencariku.

Aku, wanita baik-baik yang merawat dan melayani suami-suamimu saat kamu sibuk, tak peduli, tak punya waktu, atau terlalu lelah dengan urusan rumah tangga kalian. Tidak, mereka tidak akan memilihku dan meninggalkanmu. 

Aku janji.

Sunday 29 June 2014

selamat pagi, pagiku


Lelaki ini.

Hingga hari ini masih jadi satu hal pertama yang aku ingat setiap kali membuka mata.
Walau ketika kulihat ponselku, tak ada balasan atas pesanku semalam atau ucapan selamat pagi lagi.

Aku jadi ingat. Ketika mencetak absensi periode 3 minggu lalu, catatan keterlambatanku minim sekali.

"Thiya, apa benar telatmu cuma 2 kali saja sebulan ini?. Saya juga punya catatan loh, dan di catatan saya kamu telat lebih dari ini"

Ibu manager HRD sampai tidak percaya aku bisa datang tepat waktu saking seringnya aku harus dipanggil dan dinasehati perkara terlambat ini. Dan sepertinya dia tidak terima kalau hanya harus memotong 2% dari gajiku bulan ini sebagai "hukuman" atas keterlambatan. 

Di bulan September, aku jarang terlambat. Dan seingatku aku terlambat banyak menit ketika harus berangkat kerja dibonceng olehnya. Entah karena ingin lebih lama denganku atau dia tipe lelaki yang berhati-hati. Dan sekali saat hari senin, bus yang aku tumpangi berjalan sangat pelan karena takut kehabisan bensin di tengah perjalanan.

*

Kembali lagi pada lelaki ini.

Kurasa aku ga salah ketika menjulukinya matahariku. Sejujurnya. Aku tak pernah menyukai pagi. Aku terlalu bahagia meringkuk di bawah selimut meski lamat-lamat kudengar burung gereja bernyanyi.
Aku tak pernah menyukai pagi. Tidurku tak pernah cukup untuk menyambut matahari terbit. Kulitku tak cukup tebal untuk disentuh udara dingin sisa semalam.

Aku tak pernah menyukai pagi. Sampai tiba saat kau rajin menyapaku. Yah, karena berkatnya aku mampu bangun pagi bahkan 2 menit sebelum alarm menyala. Karena dia pun, aku mematikan aturan ponsel mati-nyala otomatis, karena aku ga mau melewatkan ucapan selamat paginya. Dan aku belajar mensyukuri pagi, karena aku tahu dia akan menemani hariku lewat susunan kalimat di ponsel.

Hal berbeda aku rasakan ketika dia memutuskan untuk pergi. Memang sangat egois jika aku memintanya untuk tinggal hanya demi menyenangkan hariku saja. Sementara aku, pernahkah aku menyenangkannya? Tidak, jawabku sendiri.

**

Aku kerap membiarkan dia menonton tv kabel sendiri ketika menemaniku di kosan, mengabaikan celotehnya mengomentari ini itu, sementara aku sibuk membaca novel kesukaanku.

Aku menolak menyiapkan sarapan untuknya dan mungkin melewatkan morning sex ketika dia menginap, karena tiba-tiba aku merasakan hal yang aneh pada payudara kiriku.

Aku tak meluluskan keinginannya untuk berkencan di salah satu mall yang memiliki parkiran tertutup dan akhirnya kami berdua memasuki mall itu dengan kondisi kuyup.

Aku merasa baik-baik saja saat bersamanya di hari ke 2 menstruasi dan aku tidak menerima niat baiknya untuk membelikanku ice cream Haagen Dazs hanya karena dia ingin membuat moodku lebih baik.

Aku berkeras tidak mau menerima perhiasan yang dia belikan hanya karena aku takut perhiasan itu secara tidak langsung akan mengikat secara komitmen.

Aku tidak jadi memasakkan bistik daging dan rica-rica udang ala-ku ketika kami melewatkan sabtu malam minggu dan membiarkan dia mentraktir tahu tek.

Aku tidak mengurusnya, memeluknya, mengingatkan untuk makan yang banyak dan minum obat, membuatkan segelas cokelat hangat, hanya untuk membuatnya tenang saat dia sakit.

Aku tidak mengiyakan ketika dengan baik hatinya dia menyarankan aku untuk lebih mengurus diri dan menonjolkan apa yang menjadi kelebihanku.

Aku kabur, dan menolak bertemu dengannya di hari pertama aku di vonis kanker payudara stadium II B, padahal dia tahu, yang aku butuhkan adalah dia berada disisiku.

***

Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Terlalu larut dalam euphoria bahwa aku dicintai seseorang. Terlalu takut untuk mengakui perasaaanku padanya. Terlalu banyak pemikiran bahwa dia tidak akan menerima ku apa adanya. Sehingga terlalu sering aku menyakitinya, tanpa kejelasan bahwa kami sebenarnya sudah saling memiliki. Cinta itu ada.

Jodoh dan rizki adalah rahasia Tuhan. Siapa sangka dulu Ia mengenalkanku padanya, lalu memisahkan dan kemudian mempertemukan kami lagi. Dibalik itu, aku tahu Ia bisa memiliki maksud banyak. Bukan tentang mempersatukan kami. Mungkin ada tujuan lain. 

Sudah beberapa kali ini secara tidak langsung aku selalu mengusir, dan membuat orang benci padaku. Membiarkan mereka menilaiku tak berperasaan. Terlebih dia. Aku tak mau dia tahu kalau aku ... ah sudahlah.

Syukur kupanjatkan, karena aku semakin belajar Tuhanku  dan merasa dicintai melalui lelaki yang luar biasa ini. Jika suatu hari Ia masih mengizinkan aku memperoleh kesempatan lagi, aku berjanji akan mengabdikan diriku penuh padanya.

Namun sekarang, biarlah aku berdoa untuknya. Untuk kepergiannya. Untuk kerelaannya melepasku. Untuk kebahagiaannya juga kelak. 

Terakhir,
Agar hati dan pikiranku tenang untuk melalui apa yang harus aku selesaikan tanpanya

Dia lelaki baik.
Lelaki yang baik, akan mendapatkan wanita baik. 


****

"Ibu Ananthiya, sudah siap masuk ke ruang operasi?," tanya suster Ira.
"Sebentar sus," jawabku.

Aku menaruh bolpoin dan melipat kertas kemudian memasukkannya ke dalam amplop biru muda. Aku menyerahkannya pada suster Ira.

"Tolong serahkan ini pada nama yang tertera pada surat itu, jika terjadi sesuatu padaku ya Sus," Aku tersenyum.

"Baik bu,".

Suster Ira membalik amplop dan melihat nama yang tertulis di permukaannya. Waduh namanya ga lengkap, alamatnya pun tak ada. Bagaimana aku menyampaikannya, kata Suster Ira dalam hati.

Aku membaca bahasa tubuhnya, dan tersenyum. Lalu kututup mataku dengan kelopaknya. Pagi akan segera menjelang, di meja operasi.


"Kepada Bagaskara, yang berarti Matahari"

Tuesday 27 August 2013

Kita Bisa

Menjalani sesuatu yang terus-terusan terkadang buatmu bosan. Ya kan?

Bukan tentang Mencintainya. Ini adalah cerita tentang penolakan keluarga dari pihak pasangan.
Aku, satu dari antara banyaknya jiwa yang pernah atau sedang mengalami, hal ini bukanlah pertama kalinya terjadi dalam hidupku. Sebenarnya aku sudah bosan ditolak. Tapi inilah aku.

Sebelum jatuh cinta, aku selalu siap menerima resiko. Aku juga siap memberi sebanyak-banyaknya cinta yang bisa aku beri. Dan aku siap jatuh kemudian bangun lagi karena disakiti. Tapi yang ini berbeda. Aku menua, aku tak lagi sama. Aku ingin mencintai dan dicintai olehnya lebih lama lagi dan selamanya. Aku ingin terbangun dipelukannya, mencium pipi dan mengucapkan selamat pagi, mencium punggung tangannya setiap hendak beraktivitas, menyiapkan kopi, snack pagi hingga makan malam, memijit dan mengusap-usap kepalanya sebelum tidur dan kemudian tertidur di pelukannya kembali.

Tidak pernah ada kata terlambat, meski begitu, aku merasa terlambat menjalani satu hal yang sebenarnya aku yakini sejak lama tapi aku takut untuk melangkah. 

Kekasihku muslim, dan aku kristiani. Aku ber-syahadat baru setelah 3 tahun lebih kami berhubungan.

Waktu itu, tanggal 28 Maret 2013, lewat seorang teman Mama aku dikenalkan oleh seorang Ustadz. Keesokan harinya, aku langsung memberanikan diri untuk berangkat menuju pondok pesantrennya di sekitar Jl Sememi menuju ke Gresik. Ditemani oleh Mama dan temannya, aku tidak mengatakan padanya bahwa aku hendak berikrar, aku jujur aku juga tidak ingin dianggap hanya "demi dia".

Kenyataannya, proses Ikrar yang cepat tanpa adanya pelatihan kini membuatku kesusahan. Surat memang sudah ditangan, namaku mungkin sudah tercatat sebagai Hamba-NYA. Tapi hanya lewat buku dan mp3 aku mendengar dan belajar. Doa-doa tertentu pun aku belum hafal. Aku belum berani mengakui pada dunia, kini aku beragama Islam, karena aku tahu aku belum sepenuhnya menjadi umat yang sempurna. 

Aku menutupi dari teman-teman, baik yang diluar maupun didalam kantor. Keluargaku sendiri sangat menghargai adanya perbedaan, jadi mereka mendukung asalkan aku benar-benar serius menjalaninya.
Beberapa hari lalu, kekasih mengajakku kerumahnya. Ya, setelah hampir 4 tahun. Sebenarnya mereka orangtuanya sudah tahu bahwa anaknya "berteman" denganku. Ternyata, sampai aku bertemu mereka lagi, aku masih diharapkan hanya berteman saja dengan anaknya.

Islam memberi sebuah "beban" kepada seorang lelaki yang menjadi suami dan ayah. Dosa istri dan anak-anaknya lah yang akan Ia tanggung. Surga pun akan Ia miliki jika istri dan anak-anaknya taat padanya. Kebetulan Bapaknya memiliki 3 anak, lelaki semua (dan aku mencintai salah satu anaknya), anak-anak lelakinya itu harus menjadi teladan bagi orang tua dan istri serta keluarganya. Sebagai seseorang yang baru belajar, aku paham. 

"Bapak ini termasuk Tokoh Masyarakat. Gini-gini Bapak punya 200 Santri disini. Apa kata orang-orang kalau tau anaknya memilih perempuan yang berbeda keyakinan"

"Aris usianya masih 25. Kakak-kakaknya menikah diusia 29. Bapak juga menikah diusia 29."

"Iya memang mualaf. Tapi nanti entah anakmu, cucumu, atau keturunanmu yang selanjutnya bisa saja kembali ke jalan itu."

"Kalau KTP belum ganti dan belum bisa sholat, ya belum Islam."

"Saya ini istilahnya sudah menunggu waktu. Sudah tua. Saya juga ga peduli anak saya menikah dengan orang yang cantik, jelek, kaya, miskin yang penting keyakinannya sama."

"Bapak ga apa-apa kalo kalian berteman. Sampai kapanpun berteman. Ga apa-apa. Jadi tolong ya dipikir yang matang-matang."

Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Aku mualaf atau tidak, aku sudah dianggap tidak memiliki darah Islam dari sejak awal karena para leluhurku. Ingin rasanya aku ceritakan semua, tapi selama itu aku cuma bisa tersengguk-sengguk menahan airmata dan ingus tumpah membasahi seluruh wajahku.

Aku anak perempuan pertama Eko dan Etty. Eko anak pertama dari pasangan Bapak dan Ibu Samingoen Wirjoatmodjo, Etty anak pertama dari pasangan Bapak dan Ibu Benny Tedja Surya. Mungkin karena mereka berdua berinisial E, mereka memutuskan anak-anaknya berinisial F. Seiring dengan usiaku yang bertambah, aku mengetahui bahwa Oma dulunya Islam, karena kemudian menikah dengan Opa, beliau mengikuti keyakinan Opa. Saat Eko dan Etty menikah pun melalui gereja dan menjalani akad menurut Islam juga. 

Memang perbedaan tak selamanya indah. Mungkin suatu kebahagiaan ada masanya. Dan rumah tangga mereka pun berakhir tepat diusiaku yang ke 11. Dadaku masih rata, mens-pun aku belum. Aku tumbuh dengan memilih sendiri miniset yang sampai SMP pun masih kedodoran, memasang pembalut sampai berlapis-lapis karena saking takutnya menembus rok sekolah. Betapa ga enaknya jadi perempuan yang sudah harus ditinggal orangtua diusia segitu. Aku tidak memiliki kekuatan mempersatukan mereka kembali.

Sebagai anak yang merasa kurang perhatian dan tidak memiliki kemampuan membahagiakan orangtua di kala muda, aku menginginkan calon mertua yang sangat sayang dan akan aku sayangi sepenuh hati seperti orangtuaku sendiri. Tapi ternyata hidupku belum juga dimudahkan. Atau mungkin akunya saja yang mempersulit. Karena bebereapa waktu lalu aku mengetahui, ternyata Etty bukan anak pertama dari Bapak Benny, tapi dari Bapak Bambang, orangtua kandung Etty yang wafat dalam tugas sebagai Angkatan Udara. Dan Beliau Islam. Etty pun menuruti untuk berpindah agama karena Opa, tapi di masa tuanya Ia kembali pada Allah. Jadi sebenarnya aku ini ga ada darah kristiani?. Aku memang dibaptis sejak bayi, tapi darah tetaplah darah. Aku pun tidak membenci apapun yang diajarkan, malah dari situ aku kagum atas toleransi antar umat beragama. Dan jika kemudian aku kembali berjalan di jalan Allah, mungkin memang karena dari situlah aku diciptakan.

Aku merasa akan dianggap mencemarkan keturunan Bapak jika kekasihku nekat menikah denganku. Karena Bapak mengucapkan apa saja yang pada intinya tidak membolehkan kami bersama. Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku dan kapan saja mampu menumpahkan airmataku kembali.

Tapi aku ingat dia, kekasihku. Tak hentinya dia membelaku dihadapan orangtuanya sampai aku harus menepuk pelan pahanya untuk membiarkan Bapak menyelesaikan kata-katanya. Dan kemarin, untuk kesekian kali aku membuatnya menangis, aku tahu kali ini tangisannya yang paling memilukan buatku. Bukan hanya karena aku melihatnya langsung, dan bukan karena aku telah mengkhianati dan menyakitinya. Aku adalah perempuan pertama dalam hidupnya yang berbeda semua-muanya yang bisa membuat dia berkata, "Jangan tinggalin aku, hunz. Kita pasti bisa jalani ini. Aku sayang kamu..." 

Kami berpelukan dan menangis bersama. Dia lelaki tegar dan sabarnya luar biasa terhadap aku. Dan kali ini dia tidak bisa menyembunyikan emosinya. Suasana mendadak sendu dan menyayat hati. Yang terdengar cuma isakan kami dan sebutan "YA ALLAH" yang berkali-kali terucap dari mulutnya. Dalam tangis aku berdoa, "Ya Allah, ampuni aku karena telah meminta ini padaMU. Jangan biarkan siapapun memisahkan kami kecuali oleh Engkau ya Allah."

Segala tamparan dan cobaan tak lain dan tak bukan adalah untuk menguatkan kami. Ini belum seberapa dengan apa yang mungkin akan kami hadapi di hari lain. 

"Kamu yakin sanggup jalani rumah tangga sama anak saya nantinya," tanya Ibu.
"InsyaAllah Sanggup Bu." jawab saya percaya diri.


officehour with tears 27/8/13

Monday 12 August 2013

sesat #9 - sudah biasa

Ketika menciumimu, aku terbayang wajah istrimu berbalut hijab merah muda. Ketika hendak melepas pakaianku, wajah putri kecilmu yang hadir. Ketika menaikimu, suara mama terngiang, "Kok bisa ya ada perempuan seperti itu," ujarnya saat menonton infotainment tentang seorang selebriti yang menikah lagi dengan sahabat mantan istrinya.

Aku terkesiap. Aku tak bisa melakukan ini, kataku dalam hati. Aku mulai mengambili pakaian dan sepatu yang berserakan lalu masuk ke toilet.

"Hei, ada apa?."
Dia yang nyaris telanjang menghampiri dan menggedor pintu kamar mandi.

Aku cepat-cepat memakai kembali pakaianku, mencuci mukaku yang tanpa make up, dan memasang kembali sepatu berhak 5 cm milikku. Tak menjawab pertanyaannya.

Tunggu saja sampai aku keluar.

Dia tak lagi menggedor. Aku keluar.

Dia memakai kembali kaosnya. Membuka kaca jendela sedikit. Menyalakan sepuntung rokok Black Mild.

Aku cuma berdiri menatapnya.

"Aku mau pulang. Seharusnya ini ga terjadi, aku minta maaf..."

Dia menyeruput rokoknya dalam-dalam. Diam.

"Aku akan check out. Karena kamu minta pakai kartu identitasku, brarti kamu juga harus check out."

"Segini aja?. Kita bahkan belum ngapa-ngapain," katanya sambil menjentikkan abu rokok diatas asbak.

"Segini aja. Dan ga akan terulang."

"Oh. Oke kamu nyantai aja. Sini..." tangannya terjulur mengambang di udara.

"Mungkin suatu kesalahan aku stalking media sosialmu tadi. Tapi sungguh, aku kasian sama istri dan anakmu"

"Mereka bukan tanggung jawabmu. Aku yang akan menanggung dosaku sendiri. Come on...kita sudah terlanjur disini lo."

"Kurasa ciuman tadi sudah cukup."

"Aku tahu, dompetmu ga hilang. Kartu identitasmu ada, hanya saja kamu malu mengakui bahwa kamu memang tak ingin pihak hotel mencatat namamu. Jadi kamu mengarang cerita itu. Sungguh kamu bilang jujur pun aku sudah mengerti keadaannya."

....................................




Di sebuah kantor...

Cerita seperti ini sudah biasa. Selingkuh, tapi ga dilanjutin. Ah...harusnya aku mengarang lebih baik lagi dari ini.

-F-